Ketika Soekxrno mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia, Sri Sultan Hamengkubuwono IX menyatakan bahwa kerajaannya, Yogyakarta, adalah bagian dari Republik.
Dan beliau benar-benar membuktikannya, membantu sepenuh hati, termasuk menjadikan Kota Jogja sbg ibukota sementara ketika Jakarta jatuh.
Setelah masa revolusi, dan RIS dibubarkan, daerah-daerah swapraja lainnya dihapuskan dan dijadikan satu dgn Provinsi, tetapi Soekarno tidak berani menghapus Jogja (DIY) krn berhutang bantuan yg sangat besar dari Jogja.
Termasuk "saudara kembar" Jogja, Solo, DIS (Daerah Istimewa Surakarta) dijadikan satu dgn Provinsi Jawa Tengah. Juga Daerah Istimewa Pontianak, dan daerah-daerah swapraja lainnya dileburkan kedalam pemerintahan Provinsi.
Ketika pemerintahan berganti ke era Orde Baru, Soehxrto tahu kekuatan politik Sri Sultan Hamengkubuwono IX yg besar dan berpotensi menjadi saingan politiknya.
Soehxrto lebih memilih utk menjadikan Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai Wakil-nya, sekaligus sbg cek balance memastikan beliau berada disisinya, dan legitimasi bahwa dia mendapatkan dukungan Raja Jawa, dan utk lebih mendapatkan dukungan rakyat biasa kepadanya.
Tetapi yg ditakutkan Soehxrto terjadi. Dalam salah satu sesi sidang pemilihan Presiden, MPR mengusulkan agar pasangan mereka dibalik, Sri Sultan Hamengkubuwono IX yg menjadi Presiden, dan Soehxrto menjadi Wakil Presidennya.
Ini menimbulkan kekacauan politik, dimana Soehxrto tentu tidak terima. Soehxrto merespon dan mengancam dgn kekuatan militernya. Demonstrasi mahasiswa pada saat itu juga ditekan secara represif menggunakan militer.
Tidak setuju dgn tindakan Soehxrto, dan utk menghindari kekacauan politik di Pemerintah Pusat, tidak boleh ada Matahari Kembar, Sri Sultan Hamengkubuwono IX akhirnya memilih utk mengundurkan diri dan tidak mau menjadi Presiden ataupun Wakil Presiden lagi, dan memilih menghabiskan masa tuanya di Jogja, kembali menjadi Gubernur DIY.
Ketika Sri Sultan Hamengkubuwono IX wafat pada tahun 1988, seharusnya yg menggantikannya adalah putra mahkota beliau, Sri Sultan Hamengkubuwono X. Tetapi yg diangkat oleh Pemerintah Pusat menjadi Gubernur DIY malah Wakil beliau, Sri Paduka Pakualam VIII. Untuk menurunkan kekuatan politik Jogja dan mencegah munculnya kekuatan politik baru sbg saingannya.
Jogja menerimanya, selain krn tekanan politik dan militer, juga krn Sri Paduka Pakualam VIII masih kerabat Kraton, Wakil Sri Sultan Hamengkubuwono IX, jadi tidak apa-apa.
Akhirnya ketika Soehxrto lengser tahun 1997, dan Sri Paduka Pakualam VIII wafat tahun 1998, Sri Sultan Hamengkubuwono X dipilih dan diangkat secara aklamasi (bulat) oleh DPRD DIY menjadi Gubernur DIY yg baru.
Kemudian Presiden berganti, dan muncul masalah baru dari Pemerintah Pusat. Jabatan Gubernur (dan sejenisnya, Presiden, Bupati, Walikota) skrg hanya boleh maksimum dipegang selama 2 periode berdasarkan Amandemen.
Jadi Sri Sultan Hamengkubuwono X tidak boleh menjadi Gubernur DIY lagi setelah 2 periode.
Sri Sultan Hamengkubuwono X lebih memilih mengalah.
Pada tahun 2006, Sri Sultan Hamengkubuwono X menyatakan bahwa beliau tidak mau menjadi Gubernur DIY lagi. Karena beliau memegang teguh salah satu dari 4 wasiat ayahanda beliau, yaitu: Tidak boleh melanggar aturan negara.
Puluhan ribu, mungkin ratusan ribu rakyat Jogja dari segala penjuru kerajaan mendatangi Kraton, memenuhi jalan dan Alun-Alun, dalam acara yg disebut sbg Pisowanan Agung (Royal Audience).
Kemudian pada tahun 2010, pemerintahan SB-Y mengajukan usulan agar Sultan Yogyakarta hanya mempunyai ceremonial power saja, tetapi tidak mempunyai kekuatan politik lagi, Gubernur DIY akan dipilih melalui Pilkada seperti wilayah-wilayah lain di Indonesia.
Langkah SB-Y ini dilihat hanya sebagai upaya utk melemahkan kekuatan politik Kraton Jogja, dan agar Jogja tunduk sepenuhnya kepada Pemerintah Pusat di Jakarta.
Juga dianggap sebagai pengkhianatan terhadap perjanjian penggabungan Yogyakarta ke Indonesia dimana salah satu poinnya adalah kekuasaan Jogja berada ditangan Sultan.
Akhirnya, after an intense political turmoil, pada tahun 2012, MPR RI mengesahkan UUK DIY, yg khusus berlaku utk wilayah Jogja. Dan memperbolehkan Sultan Yogyakarta utk tetap menjadi Gubernur DIY, tanpa batasan umur, periode, dll. Tanpa melalui proses Pilkada.
Setelah masa revolusi, dan RIS dibubarkan, daerah-daerah swapraja lainnya dihapuskan dan dijadikan satu dgn Provinsi, tetapi Soekarno tidak berani menghapus Jogja (DIY) krn berhutang bantuan yg sangat besar dari Jogja.
Soehxrto lebih memilih utk menjadikan Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai Wakil-nya, sekaligus sbg cek balance memastikan beliau berada disisinya, dan legitimasi bahwa dia mendapatkan dukungan Raja Jawa, dan utk lebih mendapatkan dukungan rakyat biasa kepadanya.
Jogja menerimanya, selain krn tekanan politik dan militer, juga krn Sri Paduka Pakualam VIII masih kerabat Kraton, Wakil Sri Sultan Hamengkubuwono IX, jadi tidak apa-apa.
Jadi Sri Sultan Hamengkubuwono X tidak boleh menjadi Gubernur DIY lagi setelah 2 periode.
Pada tahun 2006, Sri Sultan Hamengkubuwono X menyatakan bahwa beliau tidak mau menjadi Gubernur DIY lagi. Karena beliau memegang teguh salah satu dari 4 wasiat ayahanda beliau, yaitu: Tidak boleh melanggar aturan negara.
Utk menanyakan sikap Sri Sultan Hamengkubuwono X, meminta penjelasan, sekaligus meminta agar beliau tetap menjadi Gubernur DIY.
Langkah SB-Y ini dilihat hanya sebagai upaya utk melemahkan kekuatan politik Kraton Jogja, dan agar Jogja tunduk sepenuhnya kepada Pemerintah Pusat di Jakarta.